Tanpa terasa, Saia sudah berada di penghujung tahun 2007, tinggal menghitung hari menuju 2008. Hari itu, Saia cuti dari kantor dikarenakan badannya kurang fit. Di dalam kebosanannya melewati hari, diraihnya kalender 2008 sembari sesekali menyimak tayangan infotainment.
Di tatapnya lekat, kalender itu. Agak banyak hari libur dan hari-hari kejepit yang ada di tahun depan. Hari ulang tahunnya kali ini jatuh pada hari Jumat.Hari wajib dimana biasanya Saia mengambil cuti, lepas dari rusuh-misruh pekerjaan rutinnya di kantor. Waktu untuk bersantai, memanjakan diri sepuasnya bersama orang yang benar-benar diinginkannya.
Dari bulan kelahirannya, tangannya membalik halaman ke beberapa bulan sebelumnya. Hm… tanggal 27 April. Tahun 2008, 27 april jatuh pada hari minggu. Tanggal yang sedari dulu di-booking untuk tanggal pernikahannya.
Cita-citanya untuk menikah di hari itu. Tanggal yang menurutnya ajaib, dimana 27 merupakan jumlah dari tanggal kelahiran keduannya, dan 4 juga merupakan hasil penjumlahan dari bulan keduanya.
Menurut Saia, ini bukan kebetulan, tapi memang pertanda mereka memang ditakdirkan untuk berjodoh bahkan setelah keduanya bukan lagi sepasang kekasih seperti sekarang.
Beberapa tahun yang lalu, saat masanya masih jauh dari perencanaan sebuah pernikahan, sebuah percakapan yang masih sangat diingat Saia. Kala perjalanannya dari kampus menuju jalan raya besar.
“Di, kita menikah tanggal 27 April aja…”Usul Saia.
“27 April kapan Sai? Kan tahun ini dan beberapa tahun kedepan, tanggal itu masih hari kerja”Jawab Diya.
“Tahun kapan ya? Tunggu aja sampai tanggal itu jatuh di hari Sabtu atau Minggu. Mungkin saat itu, kita sudah sama-sama siap”Ucap Saia mantap.
“Ya kita lihat saja nanti, mudah-mudahan kita masih berjodoh”Kata Diya.
Siapa yang kira, kalau ternyata hubungan mereka, akhirnya harus berakhir. No wedding planning anymore.
Bulan April tinggal 4 bulan lagi. Biasanya para calon mempelai, persiapan sudah hampir 60 persen menjelang 4 bulan mendatang. Sedangkan Saia kembali bertanya kepada dirinya sendiri, dalam jangka waktu 4 bulan, mungkinkah dia menemukan belahan jiwanya dan memutuskannya untuk mengabdikan sisa hidupnya. Pertanyaan tanpa jawaban yang pasti.
Sendiri Saia duduk di luar balkon kamarnya, menatap satu titik maya di langit kelam pergantian hari pada pertengahan Desember ini. Diam, tanpa suara. Tiba-tiba senyumnya mengembang, ketika dilihatnya pemandangan eksotik hujan meteor Geminid. It’s wonderful than ever.
Hocus pocus, percaya ga percaya, this is it. Saia memejamkan mata sesaat dan mengucapkan keinginannya.
Saia ingin menikah tanggal 27 April tahun depan.
Terkabul ya syukur, tidak terkabul pun tidak masalah, pikirnya.
Cukup lama Saia memandang indahnya hujan meteor di cakrawala, garis-garis cahaya yang berjatuhan dengan bersamaan. Hampir mirip dengan kembang api yang biasa disulutnya kala kecil dulu. Hawa dingin mulai menusuk membuat Saia mulai merapatkan sweater yang dikenakannya. Kantuk mulai menyerang, memaksanya untuk menutup mulut ketika menguap. Saia berniat untuk mengakhiri pengamatan pemandangan langitnya hari ini. Saia menurunkan kaki yang dilipatnya sehingga bersentuhan dengan dadanya, memasukkan kakinya ke dalam selop boneka pink.
Mulai berdiri dan membalikkan diri, namun langkahnya terhenti, dan Saia kembali berbalik dan menatap langit yang belum selesai menampilkan pertunjukannya.
“Ti, Pemandangannya bagus banget. Saia menyaksikan pemandangan ini di langit Sai. Saia berharap Ti juga menyaksikannya di langit tempat Ti berada… Kapan kita bisa menyaksikan pertunjukan langit bersama ya? Sai merindukan Ti…”ucap Saia lirih kepada semilir angin yang berhembus seiring dengan jatuhnya tetes pertama airmatanya. Betapa memuncaknya rasa rindu kepada sahabatnya di negeri jiran. Saia meninggalkan tempat pengamatannya dan masuk kembali ke kamarnya, mencoba untuk kembali tertidur walau beberapa jam mendatang harus terjaga kembali dan mempersiapkan diri untuk kembali beraktivitas.
HP, dompet, agenda, paying, kipas…
Saia mengabsen satu-persatu benda wajib yang harus ada di dalam tasnya. Kembali Saia meraih HPnya, ternyata mati. Saia berusaha untuk menghidupkannya, barangkali masih ada tenaga untuk bisa bertahan beberapa jam mendatang, tapi gagal. Saia kembali memasukkan HPnya ke dalam pouch berkantong dua kemudian memasukkan charger HP ke dalam tasnya. Pagi ini perjalanan ke kantor diisinya dengan tidur, membalas kekurangan tidur akibat terjaga semalam.
Sesampainya di kantor, setelah menghidupkan komputernya & sedikit mengelap mejanya yang berdebu tipis, Saia meng-charge Hpnya yang sudah total mati tak berdaya. Dering pertama telepon line direct di mejanya menandakan waktu bekerja telah tiba, dan Saia mau tidak mau harus kembali larut di dalamnya.
Jam sepuluh lebih beberapa menit, Saia teringat Hpnya yang di-charge. Dihampirinya Hpnya yang telah terisi penuh dan menekan tombol on di bagian atas Hpnya.
Sms alert datang bertubi-tubi menandakan banyaknya sms yang masuk. Saia kembali ke duduk ke cubiclenya. Satu per satu, dibacanya pesan-pesan singkat itu. Dari The Newmom, The journalist, the CS, dan akhirnya Saia terpaku di
pesan singkat itu,
Marry me
From : Dearest x-Diya (+6281721072xx); 13/12/2007; 01.30am.
Degh. Jiwanya melayang tinggi menembus batas langit tertinggi, tak percaya. Raganya kaku seketika tanpa menghiraukan dering telepon-telepon yang bersahutan di mejanya. Sekembali jiwanya dari tempat tertinggi, jarinya lincah menekan keypad di HPnya mengirimkan pesan singkat ke nomor tujuan.
I do
To : Dearest x-Diya (+6281721072xx); 13/12/2007; 10.27am
Monday, December 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete